Sekarang orang berangkat dari Ukaz ke Majannah kemudian ke Zul-Majaz. Segala upacara mereka laksanakan untuk berhala-berhala. Setelah itu setiap kabilah kembali pulang ke tempat asal mereka masing-masing di Semenanjung.
Dalam tahun berikutnya tiba pula pekan Ukaz. Seperti tahun lalu, peranan Umar tahun ini juga tidak berbeda, dan demikian seterusnya selama bertahun-tahun. Tetapi pernah terjadi ketika pada suatu pembukaan pasar itu Umar datang terlambat, orang sibuk mencarinya dan bertanya-tanya mengapa ia tidak datang. Lebih-lebih karena perkampungannya terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm yang berada di sebelahnya. Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan ini, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lain-nya, dalam ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi.
Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka lebih terkemuka dalam tugas-tugas sebagai penengah dan dalam mengambil keputusan jika timbul perselisihan. Mereka yang menjadi juru bicara mewakili Kuraisy dalam menghadapi kabilah-kabilah lain manakala timbul perbedaan pendapat, yang biasa-nya berakhir dengan perundingan. Kepemimpinan mereka disukai dalam menghadapi perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang bernama Zaid bin Amr, salah seorang yang menjauhi penyembahan berhala dan menolak makanan dari hasil kurban untuk berhala itu. Di samping dia ada pula orang yang bernama Umar bin Khattab, yang merasa bangga karena ia menjadi anggota kabilah itu.
Daftar Isi
Kabilah, Silsilah dan Keluarga Umar bin Khatab
Inilah kabilah Umar. nama Ayah Umar adalah, al-Khattab bin Nufail bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adi bin Ka’b. Adi ini saudara Murrah, kakek Nabi yang kedelapan. Ibunya, Hantamah binti Hasyim bin al-Mugirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum.
Khattab orang terpandang di kalangan masyarakatnya, tetapi dia bukan orang kaya, juga tak mempunyai khadam. Umar pernah menulis surat kepada Amr bin al-As yang ketika itu ditempatkan sebagai amir untuk Mesir, menanyakan asal usul hasil kekayaan yang dihimpunnya. Dalam surat balasannya itu Amr marah, di antaranya ia mengatakan: “…Sungguh, kalaupun dalam mengkhianati Anda itu halal, saya tidak akan mengkhianati Anda atas kepercayaan yang telah Anda berikan kepada saya. Saya turunan orang baik-baik, yang jika kami hubungkan ke sana tak perlu lagi saya mengkhianati Anda. Anda menyebutkan bahwa di samping Anda ada kaum Muhajirin yang mula-mula yang lebih baik dari saya. Kalau memang begitu, demi Allah wahai Amirul-mukminin, saya tidak akan mengetuk pintu untuk Anda dan gembok pintu saya pun tidak akan saya bukakan kepada Anda.”
Amr bin al-As begitu marah atas surat Umar itu sampai ia berkata kepada Muhammad bin Maslamah ketika ia datang sebagai utusan Umar untuk mengadakan perhitungan: “…Sial benar sejarah ini, yang telah membuat aku menjadi gubernur Umar! Saya dulu melihat Umar
dan ayahnya sama-sama mengenakan jubah putih berbulu kasar tipis yang tak sampai di lekuk lututnya dan memikul seikat kayu bakar, sedang al-As bin Wa’il memakai pakaian sutera berumbai-rumbai.”
“Sudahlah Amr! Umar lebih baik dari Anda, sedang bapa Anda dan bapanya sudah sama-sama dalam neraka…”
Khattab ini laki-laki yang berperangai kasar dan keras. Di masa kekhalifahannya pernah Umar lewat di sebuah tempat yang berpohon-pohon, yang disebut Dajnan, dan katanya: “Aku pernah menggembalakan ternak Khattab di tempat ini. Yang kuketahui dia kasar dan keras. Menurut sumber at-Tabari disebutkan bahwa di masa kekhalifannya, ketika melalui Dajnan Umar berkata: “Tiada tuhan selain Allah Yang telah memberi rezeki sekehendak-Nya dan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dulu aku menggembalakan untuk Khattab di lembah ini dengan mengenakan jubah dari bulu. Dia kasar, payah benar aku bekerja dengan dia; dipukulnya aku kalau lengah. Ketika aku pulang di waktu sore hanya Allah Yang tahu…” Kemudian ia mengutip beberapa sajak para penyair.1
Khattab mengawini perempuan bukan karena berahi, tetapi supaya mendapat anak yang banyak. Ketika itu orang yang banyak anak menjadi kebanggaan orang Arab. Orang masih ingat bagaimana Abdul-Muttalib kakek Nabi ‘alaihis-salam merasa tak berdaya di tengah-tengah masyarakatnya sendiri, karena tak banyak anak. Lalu ia bernazar kalau mempunyai sepuluh anak laki-laki sampai dewasa sehingga dapat memperkuatnya, salah seorang di antaranya akan disembeiih sebagai kurban untuk sang dewa di Ka’bah. Sudah kita sebutkan juga bahwa Banu Adi merasa sangat tak berdaya, karena jumlah mereka kecil sehingga oleh keluarga Abdu-Syams mereka diusir dari perkampungan-nya di Safa. Tidak heran jika Khattab ingin mendapat anak lebih banyak supaya sedapat mungkin dapat memperkuat diri.
Ayah Umar
Sebenarnya Khattab ini cerdas, sangat dihormati di kalangan masyarakatnya dan pemberani. Dengan tangkas dan tabah ia memimpin Banu Adi dalam suatu pertempuran. Banu Adi ini yang dulu ikut dalam Perang Fijar, yang dipimpin oleh Zaid bin Amr bin Nufail dan Khattab bin Nufail pamannya dan sekaligus saudaranya dari pihak ibu, sebab perkawinan Nufail dengan Jaida’ yang kemudian melahirkan Khattab. Setelah Nufail meninggal Amr anaknya yang dari ibu lain kawin dengan istri ayahnya Jaida’. Pernikahan demikian biasa dilakukan di zaman jahiliah. Dari perkawinan Amr dengan Jaida’ ini kemudian lahir Zaid bin Amr, yang bagi Umar adalah saudara dan sekaligus kemenakan(Al-Agani jilid 3/123, Darul Kutub al-Misriyah). Usia keduanya berdekatan dan itu pula yang menyebabkan mereka memimpin masyarakatnya dalam Perang Fijar.
Sesudah Zaid meninggalkan penyembahan berhala dan tidak mau memakan makanan kurban untuk berhala itu, kepada masyarakatnya ia berkata: “Allah menurunkan hujan dan menumbuhkan hasil bumi, menciptakan unta supaya kamu urus, lalu kamu sembelih untuk yang selain Allah? Selain aku, aku tidak tahu di muka bumi ini adakah orang yang berpegang pada agama Ibrahim?!”
Kemudian ia membacakan syair yang mengajak orang membuang cara peribadatan demikian itu (2) Oleh karena itu oleh Khattab ia di-musuhi dan ditentang keras sekali, didorong pula oleh masyarakat Kuraisy yang akhirnya mengeluarkannya dari Mekah dan tidak diper-bolehkan memasuki Mekah lagi. Khattab termasuk di antara mereka yang paling keras dan kejam.
(2) Dalam hal ini banyak syair yang dikutip oleh penulis al-Agani (Abul-Faraj al-Asfahani) dihubungkan kepada Zaid bin Amr. juga oleh Ibn Hisyam dalam as-Sirah dan yang lain. Dua bait sajaknya yang kita catat dalam bab ini dari antara sckian banyak sajaknya itu, yakni:
Kuserahkan diriku ke tempat awan menyerahkan dirinya
Yang membawa air sejuk dan lezat
Kuserahkan diriku ke tempat bumi menyerahkan diri
Yang membawa batu-batuan yang berat-berat
Diratakan dan ditancapkan gunung-gunung di alasnya.
Penulis al-Agani itu menceritakan dengan menggunakan suatu pegangan bahwa Sa’id bin Zaid bin Amr dan Umar bin Khattab bertanya kepada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Zaid ini yang dijawab: “Pada hari kiamat ia merupakan satu umat tersendiri.”
Di antara perempuan yang sudah dikawini Khattab termasuk Hantamah binti Hasyim bin al-Mugirah dari Banu Makhzum yang masih sepupu Khalid bin al-Walid dari pihak ayah. Al-Mugirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum kakek mereka bersama, yang juga pemimpin pemuka-pemuka Kuraisy dan salah seorang pahlawannya.
Dalam pasukan tentara Banu Makhzum dia juga komandannya, se-hingga mendapat gelar sesuai dengan kedudukannya itu. Dengan kedudukannya yang demikian di kalangan Kuraisy, dialah yang telah menasihati kakek Nabi, supaya jangan menyembelih Abdullah anaknya sebagai kurban untuk memenuhi nazarnya, dengan mengatakan: “Janganlah sekali-kali menyembelihnya sebelum kita memberikan alasan.
Kalau penebusannya dapat kita lakukan dengan harta kita, kita tebuslah.” Dengan kedudukannya itu Hantamah adaiah perempuan yang selalu dekat di mata suaminya dan lebih diutamakan dari istri-istrinya yang lain. Setelah Umar lahir sang ayah merasa sangat gembira dan dibawanya kepada berhala-berhala sebagai tanda kegembiraannya. Kaum fakir miskin di kalangan Banu Adi yang banyak jumlahnya ketika itu diberi santunan berupa makanan.
Masa Kecil dan Remaja Umar bin Khatab
Kapan Umar dilahirkan? Suatu hal yang tidak mudah dapat dipastikan. Yang jelas ia meninggal sekitar tiga hari terakhir bulan Zulhijah 23 tahun setelah hijrah. Tetapi yang masih diperselisihkan mengenai umurnya ketika ia wafat: ada yang mengatakan dalam usia lima puluh tahun, ada yang menyebutkan dalam usia lima puluh tujuh tahun, yang lain mengatakan enam puluh tahun, ada lagi yang mengatakan enam puluh tiga tahun dan sebagainya. Besar dugaan ia meninggal sekitar umur enam puluhan. Kalau benar demikian berarti ketika ia hijrah umurnya belum mencapai empat puluh tahun. Dan kepastian dugaan ini tak dapat kita jadikan pegangan.
Semasa anak-anak Umar dibesarkan seperti layaknya anak-anak Kuraisy. Yang kemudian membedakannya dengan yang lain, ia sempat belajar baca-tulis, hal yang jarang sekali terjadi di kalangan mereka. Dari semua suku Kuraisy ketika Nabi diutus hanya tujuh belas orang yang pandai baca-tulis. Sekarang kita mengatakan bahwa dia termasuk istimewa di antara teman-teman sebayanya. Orang-orang Arab masa itu tidak menganggap pandai baca-tulis itu suatu keistimewaan, bahkan mereka malah menghindarinya dan menghindarkan anak-anaknya dari belajar.
Sesudah Umar beranjak remaja ia bekerja sebagai gembala unta ayahnya di Dajnan atau di tempat lain di pinggiran kota Mekah. Sudah kita sebutkan ia bercerita tentang ayahnya serta tindakannya yang keras kepadanya saat ia menggembalakan untanya. Penulis al-‘Iqdul Farid menyebutkan bahwa pada suatu hari Umar berkata kepada an-Nabigah al-Ja’di: Perdengarkanlah nyanyianmu kepadaku tentang dia. Lalu diperdengarkannya sebuah kata dari dia. “Engkau yang mengatakan itu?” tanyanya. “Ya.” “Sering benar kau menyanyikan itu di belakang Khattab.” Menggembalakan unta sudah merupakan kebiasaan di ka-langan anak-anak Kuraisy betapapun tingkat kedudukan mereka.
Beranjak dari masa remaja ke masa pemuda sosok tubuh Umar tampak berkembang lebih cepat dibandingkan teman-teman sebayanya, lebih tinggi dan lebih besar. Ketika Auf bin Malik melihat orang banyak berdiri sama tinggi, hanya ada seorang yang tingginya jauh melebihi yang lain sehingga sangat mencolok. Bilamana ia menanyakan siapa orang itu, dijawab: Dia Umar bin Khattab.1
Wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal dengan kaki yang lebar sehingga jalannya cepat sekali. Sejak mudanya ia memang sudah mahir dalam berbagai olahraga: olahraga gulat dan menunggang kuda. Ketika ia sudah masuk Islam ada seorang gembala ditanya orang: Kau tahu si kidal itu sudah masuk Islam? Gembala itu menjawab: Yang beradu gulat di Pasar Ukaz? Setelah dijawab bahwa dia, gembala itu memekik: Oh, mungkin ia membawa kebaikan buat mereka, mungkin juga bencana.
Penunggang Kuda
Dari antara berbagai macam olahraga, naik kuda itulah yang paling disukainya sepanjang hidupnya. Selama dalam pemerintahannya pernah ia datang dengan memacu kudanya sehingga hampir menabrak orang. Ketika mereka melihatnya, mereka heran. Apa yang membuat kalian heran? tanyanya. Aku merasa cukup segar lalu kukeluarkan seekor kuda dan kupacu.
Dalam perang juga dia memegang peranan penting, yang di-warisinya dari pihak saudara-saudara ibunya Banu Makhzum. Ketika dalam sakitnya yang terakhir Abu Bakr sudah berkata: “Tatkala aku mengirim Khalid bin Walid ke Syam aku bermaksud mengirim Umar bin Khattab ke Irak. Ketika itu sudah kubentangkan kedua tanganku demi di jalan Allah.”
Di samping kemahirannya dalam olahraga berkuda, adu gulat dan berbagai olahraga lain, apresiasinya terhadap puisi juga tinggi dan suka mengutipnya. la suka mendengarkan para penyair membaca puisi di Ukaz dan di tempat-tempat lain. Banyak syair yang sudah dihafalnya dan membacanya kembali mana-mana yang disenanginya, di samping kemampuannya berbicara panjang mengenai penyair-penyair al-Hutai’ah, Hassan bin Sabit, az-Zibriqan1 dan yang lain.
Pengetahuannya yang cukup menonjol mengenai silsilah (genealogi) orang-orang Arab yang dipelajarinya dari ayahnya, sehingga ia menjadi orang paling ter-kemuka dalam bidang ini. Retorikanya baik sekali dan ia pandai ber-bicara. Karena semua itu ia sering pergi menjadi utusan Kuraisy kepada kabilah-kabilah lain, dan dalam menghadapi perselisihan kepemimpin-annya disukai seperti kepemimpinan ayahnya dulu.
Seperti pemuda-pemuda dan laki-laki lain di Mekah, Umar gemar sekali meminum khamar (minuman keras) sampai berlebihan. Bahkan barangkali melebihi yang lain. Juga waktu mudanya itu ia tergila-gila kepada gadis-gadis cantik, sehingga para penulis biografinya sepakat bahwa dia ahli minuman keras dan ahli mencumbu perempuan. Tetapi yang demikian ini memang sudah menjadi kebiasaan masyarakatnya.
Penduduk Mekah memang sangat tergila-gila pada minuman keras. Dalam suasana teler demikian mereka merasa sangat nikmat. Perempuan-perempuan hamba sahaya milik mereka menjadi sasaran kenikmatan mereka, juga mereka yang di luar hamba sahaya. Syair-syair mereka zaman jahiliah pandai sekali berbicara mengenai soal-soal semacam itu.
Sesudah datang Islam, yang terkenal dalam soal ini penyair Umar bin Abi Rabi’ah dan yang semacamnya. Puisi-puisi mereka biasa menggoda gadis-gadis Mekah dengan dorongan cinta berahi yang mereka warisi dari ibu-ibu dan bibi-bibi mereka. Dalam Islam hal ini dipandang perbuatan dosa, sedang sebelum itu dianggap soal biasa.